Sabtu, 21 Mei 2011

Goedang Tjerita Antik Gara-Garanja Menonton Peh Tjoen


Novelet antik berlabel Tjilik Romans dari penerbit Goedang Tjerita ini terbit pada bulan Juni 1949.
Pengarangnya : Pouw Kioe An
Tebal : 125 halaman
Harga : Rp 40.000,-

Pouw Kioe An

Pouw Kioe An adalah wartawan koran SIN TIT PO yang terbit di Surabaya pada 2 Desember 1929. Sin Tit Po (xin zhi bao) ini adalah kelanjutan dari Sin Jit Po yang pada November 1929 terpaksa ditutup karena tidak sanggup membayar denda kepada pemerintah setempat yang dikenakan karena kasus penghinaan.

Pemimpin Direktur pertama "Sin Tit Po" adalah Tan Ping Lee.

Hoofredactuer pertamanya adalah Liem Koen Hian. Liem Koen Hian ini akhirnya diganti oleh banyak orang secara beersama-sama yaitu : J.D Syaranamual, Kwee Thiam Tjing, Chua Chee Liang, AR Baswedan dan Pouw Kioe An mulai 19 Desember 1932 – 28 Febroeari 1933. Tahun 1942 Jepang masuk Indonesia dan Sin Tit Po berakhir untuk selama-lamanya.

Ada sebuah kata-kata mutiara dari Pouw Kioe An yaitu : Kata-kata yang manis dan sopan, sesungguhnya bagi seorang pria sama dengan kecantikan bagi seorang wanita, kedua-duanya mempesona. (Pouw Kioe An).

Pouw Kioe An juga menulis sebuah buku berjudul : Rahasia Batu Permata.


PEH CUN


Arti kata peh cun adalah mendayung perahu.
Perayaan hari Peh Cun dikalangan orang Tionghoa adalah acara yang menggembirakan. Mereka naik perahu di sungai dan makan Bakcang (ketan rebus berisi daging yang dibungkus daun bambu). Acara ini jatuh pada tanggal 5 bulan 5 penanggalan China.

Asal usul hari raya Peh Cun adalah kisah seorang menteri negara Chu bernama Qu Yuan yang hidup pada tahun 339 SM - 277 SM. Qu Yuan adalah seorang menteri yang berbakat dan setia pada negaranya. Seperti biasa terjadi, orang yang sangat mencintai sering tidak terjaga bicaranya. Akibatnya Qu Yuan tidak disukai oleh sebagian keluarga raja dan diusir dari ibukota Chu. Orang yang cinta negara ini jadi amat sedih, dan cemas membayangkan masa depan negara Chu. Akhirnya Qu Yuan bunuh diri dengan mencebutkan diri ke sungai Miluo pada tanggal lima bulan lima.

Rakyat yang tahu menteri itu bunuh diri ikut sedih. Orang-orang berdayung dengan perahu disungai mencari jenazah sang menteri. Kuatir jenasah tersebut dimakan ikan, mereka melemparkan nasi dan makanan lain ke dalam sungai supaya ikan dan udang dalam sungai tersebut sibuk makan nasi tersebut dan tidak mengganggu jenazah sang menteri.
Rakyat percaya di sungai ada naga. Supaya makanan yang disebar ke sungai tidak di lahap naga, mereka membungkus nasi tersebut dengan daun bambu. Makanan inilah yang sekarang disebut Bakcang.

SUDAH TERJUAL

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.