Senin, 30 Mei 2011

Lukisan Kaca Repro Bukan Antik Petruk Dan Pengamen


Lukisan kaca repro bukan antik Petruk dan Pengamen
Ukuran : 28 x 38 cm
Harga Rp 75.000,-
TERJUAL

Lukisan kaca Repro Bukan Antik : Petruk Naik Sepeda Juga.


Lukisan kaca repro bukan antik : Petruk Naik Sepeda Juga.
Ukuran : 28 x 38 cm
Harga Rp 75.000,-
TERJUAL

Lukisan Kaca Repro Bukan Antik Petruk Naik Sepeda


Lukisan kaca repro bukan antik Petruk Naik Sepeda.
Ukuran : 28 x 38 cm
Harga Rp 75.000,- belum ongkir

Lukisan Kaca Repro Bukan Antik Petruk Naik Motor


Lukisan kaca repro bukan antik Petruk Naik Motor.
Ukuran 28 cm x 38 cm
Harga Rp 75.000,- belum ongkir

Lukisan Kaca Bukan Antik Petruk Naik Mobil


Lukisan Kaca Bukan Antik Petruk Naik Mobil
Ukuran : 28 x 38 cm.

Lukisan Kaca Bukan Antik Petruk Naik Becak



Lukisan kaca repro bukan antik Petruk Naik Becak.
Ukuran 28 x 38 cm
Sudah dipigura.
Harga Rp 75.000,- belum ongkir

Lukisan Kaca Bukan Antik Petruk dan Ikan



Lukisan kaca repro bukan antik Petruk dan Ikan.
Ukuran : 28 x 38
Harga : Rp 75.000,- belum ongkir
TERJUAL

Tatakan Gelas Antik Amstel Biern Amsterdam



tatakan gelas antik Amstel Biern, Amstel Brouwerij Amsterdam.
Ukuran garis tengah : 10,5 cm
Bahan : ketas tebal (karton)
Harga : Rp 75.000,-
K
BOOKED

Tatakan Gelas Antik Ankerpils




Bir Ankerpils tahun 1932 dibuat di pabrik Archipel Brouwerij dengan alamat Amanusgracht (sekarang Jalan Bandengan Selatan). Setahun kemudian dengan produksi 2,5 juta liter setahun, mulai diperkenalkan Anker, Diamant, Kris, dan Munchener Donker.

Ketika Perang Dunia II, pemerintah Hindia Belanda mengoper perusahaan itu, dan mengubah namanya menjadi NV. De Oranje Brouwerij.

Sesudah mengalami berbagai pergolakan, perusahaan itu akhirnya diambil-alih Pemda Jakarta dan berganti nama: PD Budjana Jaya - Pabrik Bir Jakarta. Kemudian perusahaan ini patungan dengan NV Bier Brouwerij De Drie Hoefijzers (Breda, Belanda).

Anker COASTER Pils Hindia Belanda BIR BATAVIA 1920
Tatakan gelas Ankerpils ini terbuat dari bahan kertas tebal (karton)
Ukuran Tatakan gelas ini : 11,5 cm
Harga Rp 75.000,
K
BOOKED

Kamis, 26 Mei 2011

Buku Fotocopy, Loro Blonyo Antik Seni Kriya Boneka Jawa










Contoh sebuah kamar yang disediakan buat Dewi Sri ... kamar Pasren






Ada sebuah buku yang membahas barang antik Loro Blonyo.

Judulnya Seni Kriya Boneka Jawa.
Buku tipis ini sudah langka dan tidak dicetak ulang.
Kami membuat fotocopinya untuk anda.
Tebal : 34 halaman
Harganya Rp 35.000,- belum termasuk ongkos kirim.

Dalam buku Seni Kriya Boneka Jawa banyak alamat pengrajin yang bisa kita kunjungi untuk melihat-lihat hasil karya mereka.
Dibawah ini kami cuplikkan sebagian isi buku tersebut :

Loro Blonyo

Loro artinya dua dan Blonyo artinya melumuri. Jadi artinya kurang lebih dua boneka yang dilumuri cat. Yang menarik adalah warna warni cat ini bukanlah menggambarkan pakaian biasa, melainkan pakaian Paes Ageng.

Dua boneka laki-laki dan perempuan dalam tata busana Jawa paes ageng ini biasanya terbuat dari kayu atau tembikar. Biasanya dibuat dalam posisi duduk bersimpuh, walau ada juga yang berdiri, atau duduk di kursi.

Dalam sebuah rumah orang jawa tempo doeloe, biasanya ada sebuah kamar khurus di sentong tengah. Di dalam kamar ini ada sebuah pembaringan yang ditutupi kain kelambu hias. Pembaringan tersebut lengkap dengan bantal dan guling. Dipembaringan inilah nantinya Dewi Sri akan tidur bila datang ke rumah tersebut.

Didekat pembaringan khusus untuk Dewi Sri (pa - Sri - an) atau Pasren, diletakkan sebuah tempat beras yang disebut Pedaringan. Dan didekat pedaringan ini juga diletakkan boneka Loro Blonyo. Jadi Loro Blonyo adalah boneka pelengkap sebuah Pasren, sebuah kamar tempat padi disimpan (pedaringan). Dikamar itulah diharapkan Dewi Sri mau hadir dan tidur, karena bagi petani, Dewi Sri adalah dewi padi yang amat dihormati.

Tapi seiring dengan perkembangan jaman, lama-lama kamar khusus Pasren tidak lagi ada di rumah-rumah orang Jawa, mungkin dianggap pemborosan atau merepotkan. Akhirnya mereka hanya memelihara Loro Blonyo saja ....

Jaman dulu Di Yogyakarta semua orang boleh mempunyai loro blonyo, beda dengan di Surakarta, hanya orang berkedudukan tinggi yang boleh memeliharanya.

Dimana Loro Blonyo dibuat ?
Boneka cantik ini dibuat di dusun Bobong dan Batur, Kelurahan Putat di Gunung Kidul. Disana ada sekitar 120 pengrajin yang sehari-harinya membuat topeng, menong (boneka) loro blonyo.

Sejarah pembuatan topeng di Bobong dan Batur bermula dari Mbah Karso almarhum. Dari beliau ilmu ini diturunkan kepada menantunya. Sesudah itu baru muncul pengrajin baru yang bernama Tukiman, Sujiman, dan lainnya yang mempelajari ilmu warisan dari Mbah Karso tersebut.

Beberapa pengrajin Bobong dan Batur kemudian belajar pada pak Asmo di Gading - abdi dalem keraton Yogyakarta. Tukiran akhirnya bisa membuat Loro Blonyo. Itu terjadi tahun 1979. Kemudian berkembanglah kelompok Tukiran hingga akhirnya berjumlah 30 orang.

Sujiman juga mengembangkan usahanya membuat loro blonyo hingga anggotanya mencapai 40 orang.

Tokoh kedua dalam pembuatan Loro Blonyo adalah Mbah Warno dari desa Krebet daerah Pajangan Bantul. Mbah Warno sebagai anak petani sejak kecil senang menonton tarian, topeng dan wayang. Menjelang dewasa Warno muda meninggalkan cangkulnya dan mendalami seni pedalangan dan seni tari.

Pada suatu hari Warno Waskito dipanggil ke mDalem Pugeran di kraton Yogyakarta. Dia diminta Gusti Puger untuk memperbaiki topeng-topeng koleksi kraton yang rusak. Warno terkesima melihat betapa indahnya koleksi topeng kraton. Ia menyanggupinya.

Sejak sibuk memperbaiki topeng keraton itulah Mbah Warno akhirnya meninggalkan dunia pedalangan dan tarian, ia memusatkan indra seninya kepada pembuatan topeng. Buatannya yang bagus menyedot datangnya kolektor kerumahnya. Karyanya menjadi kejaran kloletor dalam dan luar negeri, serta mengisi berbagai museum dan lemari pajang kolektor Indonesia dan luar negeri.

Tokoh seni boneka yang ketiga adalah Mbah Jembuk. Dia akhlinya Loro Blonyo. Rumahnya di desa Kasongan Bantul. Lelaki ini terkenal jantan, sakti atau linuwih, sehingga bila ia marah tak ada yang berani melawannya. Padahal tingkahnya kurang manusiawi .... ia suka menghukum orang dengan menginjak-injaknya ....

Mbah Jembuk akan marah kalau ada yang meniru karyanya, loro blonyo dari bahan tanah liat (tembikar). Dia akan mendatangi rumah si peniru dan menginjak-injak karyanya yang sedang dijemur, tak peduli sipemilik akan sedih melihatnya.

Mbah Jembuk mewariskan llmunya kepada adiknya : Nyi Linjik, seorang dukun beranak dan dukun pengantin.

Selain Mbah Jembuk, masih ada orang lain yang membuat Loro Blonyo di Kasongan, mereka adalah Mitro dan Maryorejo. Serta Mbah Parto Sruntul - yang biasanya membantu mengecat karya rekan-rekannya. Loro blonyo ala mbah Jembuk ini dipasarkan mbah Parto kekota dengan dipikul atau diboncengkan dengan sepeda bututnya.


Buku asli sudah habis terjual
Tinggal edisi Fotocopy.
Judul buku : Seni Kriya Boneka Jawa.
Tebal : 34 halaman
Harganya Rp 50.000,- belum termasuk ongkos kirim.

Senin, 23 Mei 2011

Buku Tentang Lukisan Djadoel Antik Tjitro Waloeyo


Pelukis Tradisional Tjipto Waloeyo
Lukisan karya almarhum Tjitro Waloeyo unik dan antik. Ia menggambarkan jalan mencapai kekayaan, sementara Tjitro hingga meninggalnya tidak pernah kaya. Ia tetap seorang tua yang sederhana, di rumahnya yang sederhana, di Mijipinilihan, Joyopakan RW 02
RT 01 no. 14 Surakarta - Jawa Tengah.

Bukan hanya kekayaan yang tidak kunjung datang kepada Tjitro, isteripun tidak punya, walaupun sudah berganti hingga 2 kali. Istri pertamanya boros dan suka main kartu, isteri keduanya tidak cocok dengan anak tirinya.

Akhirnya Tjitro Waloeyo tinggal dirumahnya yang sederhana bersama anak perempuan semata wayang : Wagiyem. Ia sangat mencintai keluarganya, siap mengorbankan segalanya buat anak cucu.

Tjitro tinggal dikamarnya yang penuh kertas-kertas hingga ke tempat tidurnya yang sempit. Kertas-kertas itulah kanvas lukisannya. Tapi ironisnya, hingga meninggalnya, tak ada satupun lukisan Tjitro yang tersisa. Keluarganya tidak memiliki apa-apa selain kenangan atas bapak dan kakek yang penyayang itu.

Tjitro Waloeyo pelukis tradisional Solo biasanya selalu hadir di stand sekatenan, menunggui dagangannya lukisan-lukisan dari kertas dan karton. Ia kini telah tiada, namun lukisannya masih dikoleksi oleh beberapa seniman yang menyukainya.

Lukisan Tjitro Waloeyo berkisar pada legenda, seperti Joko Tarub, Nabi Sulaiman dll. Ada juga lukisan pemandangan alam desa jenis Mooi Indie (Hindia Molek). Tapi yang paling mengesankan adalah lukisan tentang Pesugihan. Pesugihan adalah jalan menjadi kaya menurut kepercayaan orang Jawa. Intinya adalah bersekutu dengan mahluk halus, mengadakan perjanjian tertentu demi mencapai kekayaan. Kekayaan terlarang (Verboden Rijkdom - kata Dr. G.W.J. Drewes) seperti inilah yang digambarkan oleh Tjitro Waloeyo.


Siapakah Tjitro Waloeyo ?

Lahir tahun 1912 dan berkarya di Mijipinilihan, Joyotakan Surakarta bagian selatan hingga hari tuanya dan meninggal 1990. Selain pernah berpameran di Bentara Budaya Yogyakarta tahun 1982, dia sampai tahun 1987 setiap tahun masih setia mengisi stand bursa pameran di Sekaten Solo.



Lukisan Pesugihan Buto Ijo
Lukisan Tjitro Waloeyo tentang Pesugihan Buto Ijo. Orang yang menganut ilmu pesugihan Buto Ijo akan memiliki sebuah kamar khusus untuk menerima sang raksaksa hijau tersebut setiap 35 hari (selapan hari) sekali. Tapi kalau dimasuki, didalam kamar tersebut hanya ada sebongkah batu padas (wungkal) besar yang diikat dengan rantai. Yang mengharukan adalah bila saat jatuh temponya, si pemelihara buto ijo ini harus berpisah dengan anaknya untuk diantar kepada Buto Ijo. Pada hari yang ditentukan ia akan membawa anaknya kepasar (kalau sekarang mungkin ke Mall), dan dibiarkan untuk memilih barang apa saja yang diinginkan. Setelah itu ia akan dibawa ke pantai selatan pulau jawa di Jawa Timur. Disana ada sebuah tempat Punden atau Petilasan yang ditunggui oleh seorang juru kunci. Anak ini akan diciumi oleh kedua orang tuanya sebagai ciuman terakhir mereka, sebelum akhirnya buah hati itu ditinggal untuk makanan sang Buto Ijo


Lukisan Pesugihan Lintah Kadut
Lukisan berjudul Pesugihan Lintah Kadut. Lukisan ini menggambarkan orang yang menganut ilmu Lintah Kadut dalam mencapai kekayaannya. Setiap selapan hari (35 hari) akan datang kerumahnya sepasang lintah. Ia harus menyediakan sebuah kamar khusus untuk sang lintah. Disana selama setengah jam, darahnya akan dihisap oleh sepasang lintah yang cukup besar dan ditempelkan ke leher atau dadanya. Setelah selesai ia akan keluar kamar dengan wajah yang pucat karena hampir 50 persen darahnya telah terhisap sepasang lintan kadut. Tapi uang akan segera berdatangan dengan mudah. Demikian berlangsung terus sepanjang hidupnya hingga suatu saat dia akan mati karena kehabisan darah.


Lukisan Bulus Jimbung
Lukisan Tjitro Waloeyo yang berjudul Bulus Jimbung menggambarkan orang yang menganut ilmu pesugian Bulus Jimbung. Caranya adalah dengan datang kesuatu tempat didaerah Klaten, sekitar Rowo Jombor. Disana ada sebuah kolam tempat seekor bulus berkecimpung. Disana ada seorang juru kunci. Setelah menemui juru kunci dan menerima penjelasan syarat dan konsekuensinya, si pemohon kekayaan akan disuruh menceburkan diri ke dalam kolam. Bila sudah dijilat binatang bulus, atau telah menyentuh air, kulitnya akan belang keputihan. Hal ini menandakan tujuannya sudah tercapai. Ia boleh pulang kerumahnya dan menikmati kekayaan yang datang terus seperti belang pada kulitnya yang semakin melebar. Bila belang tersebut telah menutupi sekujur tubuhnya, matilah orang tersebut ....


Lukisan Kandang Bubrah
Dalam lukisan Kandang Bubrah (Kandang buyar / cerai berai) ini almarhum Tjitro Waloeyo menggambarkan jalan mencapai kekayaan dengan cara Kandang Bubrah. Orang yang menganut ilmu pesugihan kandang bubrah punya kebiasaan aneh yaitu suka merubah-rubah (merenovasi) rumahnya. Terkadang bangunan yang sudah bagus dibongkar untuk kemudian dibangun kembali. Penganut ilmu Kandang Bubrah bila mati akan menjadi bagian dari sebuah bangunan yang terbuat dari tubuh manusia. Seluruh bagian rumah itu terbuat dari anggota tubuh manusia yang sudah mati, penganut Ilmu Pesugihan aliran Kandang Bubrah ....


Lukisan Jaran Penoleh
Pesugihan Jaran Penoleh berasal dari daerah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Disana ada petilasan (tempat bersejarah) aatau punden (tempat yang dipuja-puja) berupa makam kuda. Disini ada juru kunci (orang yang merawat makam keramat). Juru kunci ini merupakan penghubung antara setan dengan orang yang mencari kekayaan. Setelah berhasil melakukan perjanjian dengan setan si pencari kekayaan akan pulang kerumahnya dan menyediakan satu kamar khusus untuk setan kuda tersebut. Pada setiap hari tertentu (misalnya Jumat Kliwon), si pencari kekayaan akan masuk kedalam kamar tersebut kemudian setelah melakukan ritual tertentu ia akan bertingkah seperti seekor kuda, lengkap dengan suara ringkiknya yang mendirikan bulu roma. Itu berarti dia telah kerasukan setan kuda. Tingkahnya pun akan seperti kuda, Kakinya akan dihentakkan ke lantai hingga hancur tegelnya. Hal itu berjalan sepanjang malam hingga pagi tiba. Selesailah ritual pesugihan Jaran Penoleh, dan keluarlah si pencari kekayaan dari kamarnya dalam keadaan letih. Tapi kekayaan akan segera datang ...
Kegiatan semacam itu akan berjalan terus sepanjang hidupnya, hingga suatu saat dia sudah tidak kuat lagi menjadi kuda satu malam, berarti kematian segera tiba ...... Ia akan mati dengan kepala menoleh kebelakang, tanpa bisa ditolehkan kedepan lagi. Keluarganya akan menanggung malu akibat bisik-bisik tetangga yang menggunjingkan aib tersebut, dan kekayaanpun akan segera menghilang pula ....

Pesugihan Uler Jedhung


Pesugihan Tuyul


Pesugihan Tuyul


Pesugihan Nyi Blorong


Pesugihan Kodok Ijo a


Pesugihan Kodok Ijo


Pesugihan Kijing Wilangan



Buku berjudul : Tjitro Waloeyo Pelukis Tradisional
Tebal Buku : 76 halaman
Harga Buku : Rp 50.000,- belum ongkir

Minggu, 22 Mei 2011

Buku Ilustrasi Grafis Antik Tionghoa di Indonesia Tempo Doeloe





Ilustrasi Cerita











Daftar Isi




Cheng Li bukanlah buku antik, tapi isinya tentang karya grafis orang Tionghoa di Indonesia yang antik-antik. Yang dimaksud Ilustrasi grafis ialah gambar-gambar ilustrasi yang dicetak untuk sebuah karya (buku, majalah, koran, iklan dan lain sebagainya).
Daftar isi buku :
- Rasa Perimbangan Dasar Hidup Beruntung & Bahagia
- Ko Put On
- Ilustrasi Tionghoa
- Ilustrasi Grafis
- Hikayat Lou Djeng Ti
- Rahasia Sragen
- Nyonya Tjan Hoei
- Teekenan Tionghoa
- Huruf Tionghoa
- It Kie Bwee
-Riwayatnya Si Tukang Nangis

Buku ini tebal : 294 halaman
Harga Rp 65.000,- belum ongkir

Chengli
Apa artinya ceng li ? Ternyata ceng li berarti Fair, pantas, adil, pas, sesuai. Kata Ceng li ini sering sekali diucapkan oleh orang tionghoa tempo doeloe, karena mereka amat menghayati ajaran Kong Hu Cu. Sekarang pun masih sering kita dengar walaupun keturunan orang tionghoa di Indonesia sudah banyak yang beralih agama jadi katolik atau kristen. Cengli menjadi ukuran apakah seseorang tahu diri atau tidak. Orang yang bocengli (tidak tahu diri) adalah orang yang ingin menangnya sendiri (egois).

Buku ini tidak ada hubungannya dengan ajaran prilaku ceng li. Buku ini jelas ingin mengumpulkan data tentang seni ilustrasi grafis orang tionghoa di Indonesia, tempo doeloe.

Memang pada jaman sebelum dan sesudah perang dunia kedua, orang tionghoalah yang banyak bergerak dibidang penerbitan di Hindia Belanda. Ini bisa dilihat di buku : Claudine Salmon : Literature in Malay by the Chinese of Indonesia, a Provisial Annotated Biblio­graphy (Paris:1981).

Katalog karya sastra peranakan yang ditulis oleh Claudine Salmon ini memuat 806 penulis dengan 3005 karya yang terdiri dari drama asli, syair asli, terjemahan karya penulis Barat, terjemahan cerita-cerita Tiongkok, novel dan cerita pendek asli. Sebanyak 2757 karya bisa diidentifikasi pengarangnya, sementara 248 lainnya anonim.

Dalam penelitian Claudine, ditemukan bahwa Oey Se karya Thio Tjin Boen dan Lo Fen Koei karya Gouw Peng Liang adalah dua prosa asli pertama Kesastraan Melayu-Tionghoa yang terbit di tahun 1903. Ini berarti karya-karya itu telah muncul 20 tahun lebih awal dibandingkan karya Sastra Balai Pustaka yang antara lain ditandai dengan terbitnya novel Azab dan Sengsara: Kisah kehidupan Anak Gadis karya Merari Siregar pada 1920 dan Sitti Nurbaja karya Marah Rusli pada tahun 1922.

Tapi dalam buku Chengli yang berusaha dikumpulkan adalah seni ilustrasi orang tionghoa yang ditemukan diberbagai majalah, koran dan iklan.

Buku ini tebal : 294 halaman
Harga Rp 65.000,- belum ongkir