Jumat, 25 Desember 2009

Tempat Sambal

Sudah Terjual
Sudah Dipesan


Sudah Terjual

Bahan : Keramik
Ukuran Garis tengah : 7 cm Tinggi 2,7 cm
Jumlah barang : 7
Harga : Rp 25.000,- setiap 1(satu) barang ini. Belum termasuk ongkos kirim
SUDAH Terjual

Kamis, 24 Desember 2009

Boekoe Djadoel Antik 1924 Pictorial Netherlands East-Indies (Indie in Woord en Beeld)


View of a village in the Padang Highland. This photo gives a good impression of the typical style of building and of the dresses worn by the natives

Town view of Semarang. Societeits bridge and Bojong Road

The Prangwedono, Head of the Mangkunegara House and hid wife
Gusti Bagus Djelantik, regent of Karang Asem (Bali)with his retinue
The Head of Pakualam House and his wife

Leper-Scool

Roman Chatolic Society at Kramat Weltevreden

Kaoetamaan Istri a School for native home industry in Preanger

A school of Muhammadya, a society founded in 1914 at Jogjakarta

A Trade-school for natives. Tidak pakai sepatu .... paling-paling bakiak

The domestic department of the Van Deventer school for the training of native female schoolteachers

Pasar di Atjeh

Pasar Senen Tempo Doeloe

Large family residence at Siberut, the largest and most northerly of the Mentawai islands. Here also several families live together in one house, some times as many as 50 persons

Indie in Woord en Beeld / Pictorial Netherlans East Indies
Buku dalam 2 (dua) bahasa yaitu Belanda dan Inggris
Tebal 176 halaman
Ukuran : 27,5 x 37,5
Penerbit : weltevreden 1924
Pengarang : L.F Van Gent, W.A Penard, Dr D Rinkes
Kondisi : Hard Cover, dijahit. Setiap halaman ada isolasi/ selotip bening dipinggir untuk memperkuat jahitan. Halaman 85 - 94 ada luka goresan / irisan.
SUDAH TERJUAL

Sabtu, 12 Desember 2009

Atjara Kongres PNI di Purwokerto 1963

Sudah Terjual


TERJUAL
Ukuran : 23,5 x 16,3
Tebal : 60 Halaman
Dalam buku ini ada peta kota Purwokerto tahun 1963
Sudah Terjual

Dibawah Lindungan Kaabah

Sudah Terjual

TERJUAL

Pengarang : DR Hamka
Cetakan ke : 9 Tahun 1962
Penerbit : NV Nusantara Bukittinggi Jakarta
Tebal : 70 Halaman
Ukuran : 12,5 x18
Sudah Terjual

Ia Sudah Bertualang

TERJUAL
Isi Buku : 9 Ceritera Pendek
Pengarang : W.S. Rendra
Penerbit : PT Nusantara Bukittinggi Jakarta 1963
Ukuran : 12,5 x 18
Tebal : 98 Halaman
TERJUAL

Korupsi


TERJUAL
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Cetakan : ke 2 th 1961
Penerbit : NV Nusantara Bukittinggi Jakarta
Tebal : 156 Halaman

Ukuran : 18 x 12,5

TERJUAL

Pertemuan


TERJUAL

Ukuran 14,2 x 10,5
Pertemuan Kembali - Ayip Rosidi
Tebal : 128 Halaman
Pengarang Ayip Rosidi
Penerbit : Nusantara Bukittinggi tahun 60 an, Seri Denai

TERJUAL
Seri Denai Nusantara
Ada satu penerbit yang khusus menerbitkan buku-buku sastra (khususnya novel dan kumpulan cerpen) pada era tahun enampuluhan. Penerbit dimaksud bernama Nusantara berlokasi Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Buku-buku sastra tersebut diterbitkan setiap bulan dalam rangkaian Seri Denai. Yang diterbitkan pun karya-karya sastra sastrawan yang sudah punya nama dan dikenal publik. Tersebutlah nama pengarang wanita yang kesohor N.H.Dini. Antara lain karya-karyanya yang diterbitkan dalam Seri Denai adalah “Hati Damai”, “Dua Dunia”.
Juga ada Motinggo Busye dengan karyanya “Keberanian Manusia”, karya Bokor Hutasuhut judulnya “Datang Malam”, WS Rendra dengan “Ia Sudah Bertualang” (kumpulan cerpen), A.A.Navis juga ada berjudul “Hujan Panas” dan pengarang yang kini tak terdengar namanya yakni Poernawan Tjondronegoro yang kebetulan anggota AURI (sekarang TNI-AU) dengan karyanya “Mendarat Kembali” juga Ayip Rosidi “Pertemuan Kembali”, serta banyak lagi pengarang lainnya seperti Nugroho Notosusanto, B.Sularto, Suparto Brata, Alex Leo, dan lain-lain.
Selain naskah-naskah asli penerbit Nusantara ini juga menerbitkan karya sastra terjemahan, antara lain karya Maxim Gorki (Rusia) berjudul “Membalas Dendam”. Sayangnya, penerbit yang begitu gandrung menerbitkan buku-buku sastra karya anak negeri, setelah terjadi peristiwa berdarah G.30.S tak pernah muncul lagi.
Dikutip dari : http://www.sastramedan.com/?act=view&newsid=9&cat=23

Luka Bayang

SUDAH TERJUAL

Buku puisi
92 halaman
Pengarang : Harijadi S Hartowardoyo
Balai Pustaka 1964
SUDAH TERJUAL

Perlawanan

SUDAH TERJUAL

Kumpulan Puisi
Pengarang : Mansur Samin
Penerbit : Balai Pustaka
Tebal : 27 Halaman
SUDAH TERJUAL

Priangan Sidjelita

SUDAH TERJUAL

Kumpulan Puisi
36 Halaman
Penerbit : Balai Pustaka 1965
Pengarang : Ramadhan KH
SUDAH TERJUAL

Rabu, 09 Desember 2009

Siauw Tik Kwie Pelukis komik Sie Djin Koei




SIAUW TIK KWIE Pelukis Komik Sie Djin Koei

Masa kecil

Siauw Tik Kwie yang mempunyai tiga orang saudara - dua orang perempuan dan seorang laki-laki - lahir dari ayah yang bernama Siauw Gwan Lie, dan ibunya Poa Tjin Nio yang mampu membaca aksara Jawa (Hanacaraka).

Di masa kecilnya, Tik Kwie belajar di sekolah Tiong Hoa Hwee Koan. Selain pelajaran yang biasa diberikan di sekolah-sekolah lainnya, Tik Kwie memperoleh pelajaran melukis dari guru-guru yang handal. Di sekolah ini pula Tik Kwie berkenalan dengan filsafat Kong Hu Cu, membaca berbagai legenda dan mitologi Tionghoa, seperti Hong Sin, Sam Kok, Si Jin Kui, Si Teng San, Si Kiong, Gak Hui, Se Yu Ki (Riwayat Sun Go Kong), Pak Yu Ki (Riwayat Hian Thian Siang Te), Tong Yu Ki (Riwayat Pat Sian/8 Dewa), dll. Ia juga senang mengumpulkan gambar-gambar tokoh-tokoh cerita tersebut yang biasanya terdapat pada bungkus rokok pada masa itu. Ia sering memperbesar gambar-gambar tokoh mitologi Tionghoa dan memperbesarnya, dan kemudian membagi-bagikannya kepada teman-temannya.

Tik Kwie tampaknya banyak dipengaruhi oleh ibunya yang gemar membaca buku-buku legenda yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Ibunya sering menyampaikan cerita-cerita klasik Jawa dalam bentuk tembang.

Selain cerita-cerita klasik Jawa, ibunya juga sering mengajak Tik Kwie menyaksikan pertunjukan opera Tionghoa, yaitu sandiwara yang dimainkan oleh artis-artis peranakan, yang menyajikan cerita-cerita klasik Tionghoa seperti Si Jin Kui. Dalam pertunjukan ini, para pemerannya mengenakan kostum Tiongkok, sementara bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu pasar. Tik Kwie selalu terkesan oleh pertunjukan ini hingga ia dapat mengingat kostum yang dikenakan oleh para pemerannya.

Pelajaran melukis yang diperolehnya di sekolah, pengalamannya menonton opera Tionghoa, dan kegemarannya mengumpulkan gambar – semuanya merupakan dasar kecakapan yang kelak menjadi bekal hidupnya kelak.

Pada usia 12 tahun, ia diajak oleh seorang pelukis kenamaan, Liem Too Hien dan seorang siswa kung fu, Kwik Hway Hien, pergi menemui Tan Tek Siu Sian di Rejoagung dekat Tulung Agung. Tan Tek Siu Sian adalah pertapa sakti yang pantang berbicara. Gua pertapaannya dihiasi dengan lukisan-lukisan legenda Tionghoa.( tempat pertapaan Tan tek siu sian sampai sekarang masih sering di kunjungi oleh keluargan /pengikut nya ,ada dua tempat Beliau satu di Rejoagung dan satu disendang lereng gunung Willis ) Di tempat itulah Tik Kwie diperlihatkan oleh Liem Too Hien bagaimana cara membuat lukisan legenda itu.

Ketika berumur 14 tahun, Tik Kwie berhenti sekolah. Ia kemudian bekerja dengan membantu pamannya berjual-beli hasil bumi di desa Salam, Surakarta. Setahun kemudian ia pindah ke Wonogiri dan bekeja di perusahaan seorang pamannya yang lain, yaitu Jamu Jago.

Di kota ini ia mulai terlibat dalam membuat ilustrasi untuk Majalah Moestika Romans, yang dipimpin oleh Kwee Tek Hoay, seorang tokoh Tridharma. Tik Kwie melahap buku-buku karangan Kwee Tek Hoay dan merasa tertarik akan karangan-karangannya yang sarat dengan ajaran-ajaran Tridharma.

Berjumpa Kwee Tek Hoay

Sekitar tahun 1930 Tik Kwie berjumpa untuk pertama kalinya dengan Kwee Tek Hoay dalam sebuah konferensi Tridharma di Surakarta. Konferensi itu bertujuan untuk menyebarkan ajaran-ajaran agama itu, namun gagal merumuskan program-program yang konkret. Karena itu Kwee Tek Hoay kemudian memutuskan untuk menerbitkan majalah Moestika Dharma sebagai sarana penyebaran ajaran Tridharma.

Setahun kemudian Siauw Tik Kwie diundang oleh Kwee Tek Hoay untuk datang ke Jakarta untuk membantunya secara sukarela dalam penerbitan majalahnya. Ia menerima undangan itu, dengan haragpan bahwa di Jakarta ia akan dapat belajar banyak dalam seni lukis dan kerohanian. Selama tiga tahun ia tinggal di rumah Kwee dan terlibat dalam penerbitan buku-buku Tridharma.

Siauw Tik Kwie juga mendapatkan pembinaan lebih lanjut dalam seni lukis dari Pastor Sterneberg, H.V. Velthuisen dan Jan Frank. Ia juga bertemu dan bersahabat dengan Kho Wan Gie, pencipta Put On, Tan Lip Poen, Lee Man Fong, dll. Mereka kemudian mendirikan sebuah organisasi seniman Tionghoa, "Mei Shu Yen Tsiu Hui". Siauw Tik Kwie pun mulai melukis komik untuk koran-koran Siang Po (Jakarta), Sin Tit Po (Surabaya), dan Majalah Liberty (Malang) dan Star Magazine (Jakarta).

Aktif dalam keagamaan

Pada 1936, Kwee Tek Hoay pindah ke Cicurug, Sukabumi, sehingga Siauw beralih pekerjaan ke biro iklan seperti Exelcior, Gestetner, A.A. de Lamar, de Unie, Preciosa, dan Kolff.

Sementara itu, Kwee Tek Hoay bersama dengan sejumlah temannya mendirikan Bataviasche Buddhist Association dan Sam Kauw Hwee (yang kelak berganti nama menjadi Perkumpulan Tridharma). Siauw yang memang tertarik dengan masalah-masalah keagamaan, mendukung penuh inisiatif Kwee ini.

Pada tahun 1938, Siauw menikah dengan Tan Poen Nio, yang masih mempunyai pertalian keluarga dengannya. Mereka dikaruniai dua orang anak perempuan.

Ketika Perang Pasifik meletus (1942), Siauw membawa keluarganya pindah kembali ke Surakarta dan di sana ia bergabung dengan Kay Kio Sokai di bagian kesenian, dan dengan organisasi keagamaan Khong Kauw Hwee (Perhimpunan agama Kong Hu Cu). Untuk menghidupi keluarganya, Siauw memberikan kursus melukis, sementara istrinya memberikan kursus menjahit. Ia tetap berhubungan dengan Kwee Tek Hoay dan membantu peredaran buku-bukunya di Surakarta.

Pada saat ini ia mulai berkenalan dengan ajaran-ajaran Ki Ageng Suryomentaram dan kelak menerjemahkan dan menerbitkan ajaran-ajaran tersebut. Ia juga mulai mempelajari ajaran-ajaran J. Krishnamurti tentang pengenalan diri sendiri, yang dirasakannya sangat membantunya dalam memahami kitab-kitab suci Tridharma.

Ikut berjuang

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Siauw turut berjuang bersama Tony Wen dan teman-temannya yang lain dengan membentuk Serikat Rakyat dan Buruh Tionghoa yang membantu pihak Republik baik secara moril maupun materi. Karena keterlibatannya dalam perjuangan, pada 1946 Siauw diangkat menjadi anggota DPRD Surakarta. Oleh masyarakat Tionghoa yang pro-Republik, Siauw diangkat sebagai anggota Presidium Panitia Penolong Korban Perang yang membantu menangani para pengungsi sebagai wakil masyarakat Tionghoa.

Kembali ke Jakarta

Pada 1949 Siauw bersama kelaurganya kembali ke Jakarta dan mengembangkan kreativitas seninya serta mengerjakan gambar-gambar reklame dan membantu mingguan Star Weekly. Pada tahun 1952, redaktur "Star Weekly", Tan Hian Lay dan Auwyong Peng Koen memintanya membuat cerita bergambar Si Jin Kui. Mulanya ia ragu-ragu, namun permintaan itu kemudian dipenuhinya juga. Pengalamannya di masa kecil dan kecakapannya melukis sangat membantunya dalam mengerjakan tugas itu. Cerita bergambar kisah kepahlawanan seorang jenderal Tiongkok dari Dinasti Tang itu baru selesai dimuat setelah tujuh tahun penuh. Cerita ini kemudian diterbitkan dalam bentuk buku oleh Percetakan Keng Po.

Ia mendapatkan bayaran Rp. 7,50 (tujuh rupiah lima puluh sen) sebagai honorarium untuk setiap karyanya yang terdiri dari lima kotak gambar dalam satu halaman. Jumlah ini cukup memadai, karena kebutuhannya sebulan saat itu cukup dipenuhi dengan uang sebanyak Rp. 30,-

Pada tahun 1979 cerita "Si Jin Kui" hasil karyanya dimuat kembali dalam Harian Lensa Generasi, dan kemudian diterbitkan dalam buku cerita bergambar dengan penyesuaian tata bahasa dan ejaannya. Siauw juga menyerahkan hak ciptanya kepada Drs. Aggi Tjeje, Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional Gabungan Tridharma Indonesia.

Kegiatan di masa tua

Sebagai pelukis, Siauw Tik Kwie pernah empat kali mengadakan pameran tunggal di Balai Budaya, Jakarta. Pamerannya yang terakhir diadakan pada 1980, dan diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, Dr. Daoed Joesoef, dan disponsori oleh Jusuf Wanandi, SH (Liem Bian Kie, SH).

Siauw juga aktif menerjemahkan pikiran-pikiarn Ki Ageng Suryomentaram yang kemudian diterbitkan oleh Yayasan Idayu, Jakarta.

Dari : http://id.wikipedia.org/wiki/Siauw_Tik_Kwie