Buku ini memberikan gambaran bagaimana keadaan pada 1929.
Kondisi : Mulus.
Ukuran : 16 x 10,5 cm
Tebal : 272 halaman
Ditulis oleh : Tan Boen Kim - Batavia
Tjitakan Kadoea 1931 (Tjitakan Pertama Tahun 1929)
diterbitken Oleh : Firma Sun Boen Batavia
Boleh Dapet Beli Pada : Tho Kong Soei - Pintoe Besar Batavia
Harga : Rp 75.000,-
Dengen menoeroet alirannja djaman, ini waktoe dimana-mana tempat dan ploksok , baek dikota-kota besar atawa ketjil, sampe didesa-desa jang soenji dalem saloeroe Indonesia, bila ada dibikin pesta mengawinken, hari taon atawa laen-laen ..... antara tetamoe atawa orang-orang jang hadlir, oemoemnja ada banjak jang angkat bitjara, membri slamat, menjataken girang, atawa memudji atas soeatoe dan laen pahala ; boekan sadja dengen perkataan-perkataan jang merdoe, tapi djoega jang bersetimpal dengan maksoednja itoe perajahan.
Lantaran itoe maka dalem ini boekoe djadi diadaken roepa-roepa pridato boeat disagala matjem pesta , perajahan atawa upatjara jang berhoebong djoega dengen pri kaadaannja satoe-satoe orang. ...... Salaennnja itoe ada banjak lagi pridato-pridato bagoes dan menarik hati antara mana ada djoega pridato origineel dari pendekar-pendekar nationalist, djempolan-djempolan pergerakan dan orang-orang termashoer dari saloeroe doenia.....
Dari lakoenja boekoe ini jang keras telah membri kanjataan : bahwa Tanbunkim's Pridato ada disoekai oleh pendoedoek segala bangsa, golongan dan deradjat : kerna tjitakan pertama jang diterbitken dalem taon 1929 sabelon ganti taon soedah terdjoeal habis. Itoe penghargaan jang dioenjoek oleh sakalian pemesen dan pembeli telah menambaken saja poenja kagumbiraan dan napsoe bekerdja, hingga dalem tjitakan kadoea jang diterbitken sekarang, isinja djadi ditamba lagi dengen pridatonja orang-orang ternama dari kalangan politiek, sociaal, pamerentahan dan pergerakan, jang soearanja bisa terdenger dari magrib sampe ka israk....
TAN BOEN KIM terbilang penulis produktif di zamannya. Menurut Claudine Salmon dalam Literature In Malay by The Chinese of Indonesia, tidak jelas apakah ia pernah menerima pendidikan formal. Dilahirkan pada 1887, lelaki ini menjadi penulis dan wartawan secara otodidak. Pernah bekerja sebagai jurutulis di sebuah bank, ia mulai menulis untuk Sin Po, tempat ia biasa menyumbangkan karangannya berupa “pidato mingguan” berjudul Zaterdagsch Causerie dengan nama pena Indo China.
Ia lalu malang-melintang di dunia jurnalistik. Sekitar tahun 1916 ia diminta untuk memegang jabatan direktur dari harian Thjioen Thjioe yang didirikan di Surabaya pada 1914. Tak lama kemudian ia kembali ke Batavia, dan pada 1917 menjadi editor mingguan Ien Po. Pada 1926, ia tinggal di Palembang selama beberapa bulan, dan bekerja untuk mingguan Kiao Po. Sebagai jurnalis, Tan Boen Kim kritis. Gaya tulisannya penuh sarkasme, sehingga membuat banyak musuhnya tak ragu untuk menggunakan kekerasan untuk melawannya. Ya, ia bahkan dipenjara beberapa kali karenanya. Dalam bahasa Wartawan P.W. dalam Pantja Warna, “Tan Boen Kim kenjang dibatjok dan keluar masuk pendjara”.
Novel pertama Tan Boen Kim tampaknya telah dipublikasikan pada 1912. Belakangan ia menulis banyak kisah besar yang didasarkan pada peristiwa aktual atau soeatoe tjerita jang betoel terdjadi pada waktoe jang belon sebrapa lama, seperti perampokan dan pembunuhan. Salah satunya yang terkenal adalah Nona Fientje de Feniks (1915) yang berkisah tentang pembunuhan pelacur terkenal Fientje de Feniks. Novel ini mendapat perhatian banyak orang, sehingga mengalami cetak ulang. Bahkan Tan Boen Kim akhirnya menulis sambungannya; Njai Aisah atawa djadi korban dari rasia (1915) dan G. Brinkman atawa djadi korban dari perboetannja (1915). Kisah Fientje de Feniks ini juga kemudian ia gubah menjadi syair berjudul Sair Nona Fientje de Feniks dan sekalian ia poenja korban jang benar terdjadi di Betawi antara taon 1912-1915. Artinya, Tan Boen Kim juga mulai mencoba menulis syair. Tapi, ia mengaku mengalami kesulitan ketika menulis syair. “Menulis sebuah syair dalam sajak enam baris sungguh urusan amat sulit. Sebuah syair tidak bisa berbicara sebaik sebuah kisah dalam prosa, karena sangat hemat kata. Jika Anda ingin memahaminya lebih jernih, saya menganjurkan –dengan semua respek—agar Anda membaca versi prosanya,” ujarnya.
Tan Boen Kim menulis kerusuhan anti-Tionghoa seperti Peroesoehan di Koedoes yang menggambarkan masalah di Kudus pada 1918 ketika perusahaan-perusahaan rokok dan batik milik Tionghoa mengkhawatirkan dan berkompetisi dengan pengusaha santri. Kebanyakan novelnya memang berkisah mengenai masyarakat Tionghoa Peranakan dengan mengambil setting Indonesia.
Perlu disebutkan pula koleksi pidatonya Tan Boen Kim’s Pridato yang memberikan bermacam keadaan yang muncul pada 1929. Buku ini dicetak ulang pada 1931 yang juga berisi pidato tokoh nasionalis Indonesia seperti Ki Hadjar Dewantara, Mohammad Hatta, dan sebagainya. Pada akhir hidupnya dia tertarik astrologi, dan menerbitkan beberapa buku tentang topik tersebut.
Tan Boen Kim menjalani tahun-tahun terakhir hidupnya dengan kemelaratan; tinggal di dalam sebuah ruangan Jinde yuan, satu dari kelenteng Tionghoa tertua di Kota, Jakarta, hingga meninggal pada 1959. (Dari : budisetiyono.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.